Sudah 70 tahun Indonesia merdeka. Banyak sudah berubah dibandingkan masa penjajahan 350 tahun dibawah Pemerintah Kolonial Belanda. Namun jejak penjajahan yang begitu lama tidak bisa serta merta dihapus begitu saja. Cengkeraman penjajah memberi jejak yang cukup dalam yang tanpa kita sadari mengganggu perjuangan kita menuju Indonesia yang adil dan makmur. Di masa penjajahan warga asli Indonesia adalah Inlander, tergolong masyarakat kelas terendah dibawah “Vreemde Oosterling” terdiri dari kebanyakan orang Tionghoa, India sebagai golongan masyarakat kelas kedua dan “Europenean, orang kulit putih asal Belanda dan Eropa selaku warga kelas I. Sebagai “inlander”, penduduk pribumi tidak punya kuasa apa-apa. Mereka tertinggal dalam pendidikan, apa lagi dalam kesempatan maju di bidang ekonomi. Sektor produktif ditangani warga kelas I, yang menguasai perkebunan, perdagangan ekspor-impor, angkutan antar pulau, dan bidang strategis Pemerintahan.
Perdagangan rakyat sampai ke desa dikuasai warga kelas II yang mengembangkan perdagangan kelontong, penyediaan kredit kecil dan memeras produsen petani di pedesaan yang terdiri dari warga kelas III, Inlander. Ekonomi yanag berkembang di masa itu adalah “Kapitalisme Telanjang”, dengan ciri-ciri “yang kuat memakan yang lemah”. Dengan peranan “harga” sebagai mekanisme pasar yang diandalkan. Ketika Indonesia merdeka, yang terjadi adalah perubahan peran. Sang “Inlander” melejit ke atas, menjadi warga kelas I menurut definisi politik, kelompok “Vreemde Oosterling” tetap menjalankan peranan kelompok penduduk kelas II. Tetapi sang “Europenean” berubah menjadi “tamu asing” yang bila membawa modal dinamakan “investor asing”. Sistem ekonomi secara hakiki tetap tidak berubah dan produksi serta konsumsi berjalan mengikuti mekanisme harga dalam sistem ekonomi pasar. Indonesia berkembang di tengah-tengah perbenturan idiologi pasca perang dunia, yang terbelah antara kelompok negara Kapitalis berhadapan dengan kelompok negara Komunis. Dalam idiologi ada perbedaan prinsipil dimana Kapitalisme bertolak dari kebebasan individualisme dan Komunisme dari penguasaan komunalisme.
Abad ke-20 didominasi oleh benturan dua idiologi Kapitalisme dengan Komunisme, yang sama-sama mendambakan kesejahteraan manusia hanya jalannya berbeda. Kapitalis mengandalkan kebebasan individu yang bergerak dalam ekonomi bebas dengan intervensi penguasa pemerintah sekecil mungkin. Sedangkan Komunisme mengandalkan kekuatan sosial masyarakat yang dimobilisasi oleh satu Partai Komunis yang memimpin pemerintahan untuk membangun masyarakat kolektif-komunis. Dengan hancurnya negara Komunis Uni Soviet sebagai pusat kekuatan idiologi pengimbang terhadap Kapitalisme, maka tumbuh anggapan bahwa perang idiologi sudah berakhir. Sehingga terbukalah dunia untuk mengembangkan negara dengan nuansa idiologi Kapitalis dengan tekanan pada ekonomi pasar.
Dalam pembangunan ekonomi semakin kuat dorongan untuk menjadikan “harga” sebagai mekanisme pasar yang mendominasi proses pembangunan. Biarkanlah “pasar” mengembangkan dinamika masyarakat yang dikendalikan oleh mekanisme harga akan memberi manfaat yang optimal bagi pengembangan kesejahteraan. Secara telanjang lahir “Washington Consensus” yang memuat mazhab agar pemerintah mengandalkan pada kebebasan pasar sebanyak-banyaknya yang akan membawa kesejahteraan masyarakat. Berilah masyarakat kebebasan berusaha dan ekonomi akan tumbuh pesat “jika Pemerintah tidur nyenyak tak bergerak”. Kemajuan ekonomi melaju pesat. Produk Domestik Bruto global melejit naik. Tetapi serentak dengan itu ketimpangan pendapatan membesar tidak saja antar negara, tetapi juga di dalam satu negara kelompok penduduk berpendapatan tinggi naik lebih cepat dari kelompok penduduk berpendapatan rendah. Ketimpangan pendapatan tidak saja tumbuh antar negara. Juga di dalam satu negara tumbuh ketimpangan pendapatan antara penduduk kota dengan desa. Dan dalam kotapun terdapat ketimpangan pendapatan antara yang hidup mewah di gedongan dengan mereka yang hidup di kampung kumuh.
“Harga” sebagai mekanisme pasar tidak berhasil membawa ekonomi maju bersamaan dengan keadilan kehidupan sosial. Untuk ini perlu campur tangan pemerintah mengoreksinya. Tetapi “siapakah pemerintah” itu? Maka lahirlah perdebatan bagaimana menentukan pemerintah itu. Secara otoriter ditentukan oleh satu partai berkuasa. Atau secara demokratis? Tetapi bagaimana menjamin bahwa pemilihan umum dalam demokrasi tidak terlepas dari kongkalikong korupsi dalam merebut suara dan kursi di parlemen? Dalam perjalanan sejarah dunia ini, Indonesia ikut tumbuh berkembang. Namun perkembangannya tidaklah menurut “garis lurus”, sering ia membengkok dari hasrat membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Ada berbagai tarikan kepentingan dari satu fihak dengan fihak lain.
Maka perkembangan Indonesia selama 70 tahun ini penuh pergulatan antara kaum idealis dengan realis, antara yang bercita-cita tinggi dengan mereka yang bersifat oportunis, antara kalangan idiologis dengan kalangan pragmatis. Sehingga bukan tampak garis lurus, tapi garis berpatah-patah penuh kejutan dalam perkembangan kehidupan berbangsa. Dalam suasana seperti inilah berbagai masalah yang hidup di tanah-air memuat hal-hal yang memberi segi-segi yang banyak nuansanya. Sehinga tidak ada satu solusi yang sepenuhnya memuaskan dalam mencari jawaban atas masalah kompleks pembangunan Indonesia ini. Namun berusaha mencari solusi yang tepat perlu dilangsungkan terus-menerus, dimana dan kapan saja, oleh siapa dalam fungsi dan tugas apapun. Karena yang kita perlu persoalkan adalah nasib bangsa Indonesia, kemana kita pergi berjalan dalam kurun waktu 30 tahun yang akan datang menjelang 100 tahun Republik Indonesia.
Beribu-ribu tantangan kita hadapi. Dalam waktu 30 tahun Indonesia harus lepas dari posisi negara berpendapatan menengah, dibawah USD 12.000 per jiwa penduduk, dibandingkan dengan kini USD 3.800 per jiwa tahun 2014. Kita hadapi tantangan memanfaatkan bonus-demografi yang hanya sekali muncul dalam sejarah bangsa dan kita alami sekarang di tahun 2010-2030 ini. Kita harus mampu mengatasi tantangan persaingan dengan negara-negara anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kita harus atasi ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat (Jawa-Sumatera-Bali) yang kuasai 80% Produk Domestik Bruto dengan Indonesia bagian timur yang menguasai 20% PDB bangsa. Dan semua ini harus kita tangani dengan birokrasi negara yang masih lemah dan produktifitas kerja penduduk yang masih rendah. Bertubi-tibi permasalahan dan tantangan yang menghadang kita. Oleh karena itu kita tidak boleh berdiam diri. Kita perlu cari dan usahakan solusi bersama.
Dalam rangka ini patut disambut prakarsa Yayasan Tirta Amarta menyelenggarakan pertemuan Reboan, membahas dan mengkaji berbagai masalah strategis secara integratif idiologis, politis, ekonomi, sosial dan budaya. Untuk kemudian disajikan dalam penerbitan ini. Semoga renungan “Tirta Amarta” menggugah pembaca untuk berfikir, bertindak dan berbuat selanjutnya.