Jakarta dan Bangkok merupakan 2 kota kembar. Kembarnya ke dua kota ini diawali dari abad XVII ketika Jayakarta dan Bangkok (Thornburi),- yang ketika itu masih berupa 2 bandar kecil mulai dibangun dan terus berkembang. Sekarang kedua kota-bandar kecil ini sudah menjadi kota metropolitan. Perannya bagi kedua negaranya masing-masing juga sama, sebagai pusat perdagangan dan industri.
Dari sisi geomorfologi kedua kota ini juga sama-sama didirikan di dataran delta, delta Ciliwung dan Chao Praya. Sebagai kota yang berdiri di delta sungai, tantangan utama yang harus dihadapi juga sama, yaitu mengendalikan banjir yang sering datang menerpa. Kemudian ketika keduanya ditetapkan sebagai ibukota negara, tantangan yang harus dihadapinya juga tetap sama, salah satunya adalah kemacetan lalu-lintas.
Pada tahun 1970 Bangkok merupakan kota yang paling macet lalu lintasnya. Kota Bangkok mengatasinya dengan membangun jalan-jalan baru, termasuk jalan layang. Jakarta setelah menjadi ibu-kota negara menambah jaringan jalan antara lain dengan menimbun kanal-kanal jaringan tata-air pengendali banjir. Hilangnya jaringan kanal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir dihampir setiap musim hujan. Adapun Bangkok nasibnya jauh lebih baik. Karena jaringan klongs-nya tetap utuh. Dan juga berfungsi sebagai sarana lalu-lintas air. Bahkan sekarang menjadi ikon kota Bangkok yang dikunjungi jutaan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Kondisi ini menyebabkan Bangkok dijuluki sebagai Venezia dari Timur. Jakarta beberapa tahun lalu pernah mencoba meniru ide ini. Tetapi banjir kanal Barat yang dijadikan sarananya, tidak cukup airnya serta baunya tidak sedap.
Sebagai kota di dataran banjir Bangkok juga tetap menghadapi ancaman banjir setiap tahun. Namun berkat bantuan jaringan klong yang masih utuh, ancaman banjir rutin masih dapat dikendalikan. Berbeda dengan Jakarta yang setiap tahun, setiap musim hujan, penduduknya diperintahkan untuk waspada menghadapi bahaya tergenangnya (tenggelam?) DKI Jakarta.
Pada tahun 2011 Bangkok dilanda banjir besar yang melumpuhkan seluruh kegiatan. Banjir besar ini datang dari dataran tinggi di utara kota yang mengalami curah hujan yang sangat besar selama berhari-hari. Sikap tanggap segera dirumuskan. Seluruh komponen sepakat bahwa kejadian ini tidak boleh terulang. Maka disiapkan program besar yang dijadwalkan selesai dalam 5 tahun. Adapun DKI Jakarta sudah sangat sering dilanda banjir besar. Tadinya terjadi dalam siklus 5 atau 6 tahun sekali. Kondisi ini sekarang sudah “maju: menjadi banjir tahunan. Setiap musim hujan selalu banjir. Upaya yang visioner seperti yang dicetuskan di Bangkok belum muncul kepermukaan. Masih ada sisa masa kerja 3 tahun bagi Gubernur DKI yang dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta menjanjikan penuntasan banjir DKI Jakarta.
Satu tantangan kembar lagi adalah masalah tenggelamnya kota. Pembangunan gedung-gedung tinggi, perkantoran dan perhotelan, serta pabrik-pabrik dalam komplek industri dibangun tanpa mengindahkan Rencana Tata Ruang DKI Jakarta 1965-1985. Rambu-rambu Rencana Tata-Ruang yang disahkan pada zaman Gubernur Ali Sadikin, diabaikan dan dilanggar tanpa ada sanksi. Hal yang sama juga terjadi di Bangkok. Gedung-gedung, hotel-hotel dan pabrik-pabrik semuanya memerlukan pasokan air bersih dalam jumlah yang besar. Di sisi lain PDAM yang mengelola jaringan air perpipaan tidak bisa memenuhi permintaan. Maka diambil jalan pintas. Gedung-gedung tinggi dan komplek industri berlomba-lomba mengebor bumi untuk menguras air bersih dari sumur-sumur dalam. Pengurasan air dari sumur-sumur aquiver dilakukan dengan melampaui batas daya dukungnya. Tandon-tandon air diperut bumi menjadi kering dengan meninggalkan rongga-rongga kosong. Kekosongan ini diisi oleh lapisan tanah diatasnya, terjadilah penurunan tanah yang prosesnya ireversible, tidak bisa diperbaiki.
Proses penenggelaman ini pertama kali dideteksi di Venezia. Tingkat penenggelamannya 2 milimeter pertahun. Di Bangkok terjadi penurunan sampai 5 cm pertahun. Di DKI Jakarta, penurunannya telah dicermati oleh Brinkman, seorang konsultan Belanda. Menurut hasil penelitian van Brinkman, melalui penelitian pada 1974-2010, DKI Jakarta telah tenggelam sebesar 210 centimeter!.. Dan tingkat penurunannya terus meningkat.
Menghadapi masalah ini Bangkok setelah banjir besar 2011, memutuskan untuk segera menghentikan proses penenggelamannya. Dan harus selesai dalam 5 tahun. Apabila dalam kurun waktu itu belum juga dimulai maka sebagian kota Bangkok harus direlakan untuk ditelan laut.
Sebagai kota kembar, apakah yang sudah dirancang? Sampai sekarang belum ada tanda-tanda perancangannya. Yang ada malah dilahirkannya suatu proyek raksasa dengan dana pinjaman sebesar 300 triliun rupiah! Proyek yang oleh beberapa pakar di Belanda sendiri diragukan benefitnya. Langkah yang lebih mengena adalah segera menjalin hubungan dengan Bangkok untuk berbagi pengalaman. Dari pada kirim delegasi ke kota-kota yg jauh, apalagi ke Las Vegas! Karena musuh sudah ada di depan mata. Intrusi air laut, sebagai tanda mulai masuknya ancaman, sekarang ini sudah sampai kedepan Istana Negara!.
Penulis: Soeparmono, Masyarakat Peduli Air, terakhir pensiun pns deperten pekerjaanumum.
1991 – 1997 : direktur jenderal pengairan.
1997 – 2002 : widyaiswara utama.